Dalam pengembangan bisnis apapun, kita sering sekali mendengar istilah “edukasi market”. Biasanya hal itu muncul ketika memperkenalkan produk, kategori, atau perusahaan baru. Namun saya membenci istilah tersebut.
Sebelum meluncurkan produk baru, selayaknya telah melakukan upaya memahami problem dengan riset pasar dan meyakini bahwa produknya akan mampu diterima konsumen sebagai solusi atas problem mereka. Tantangannya adalah bagaimana membuat calon konsumen menjadi konsumen produk baru itu, dan di tahap inilah muncul istilah “edukasi market”.
Dengan menggunakan istilah “edukasi market”, timbul kesan bahwa konsumen perlu dididik untuk memahami dan kemudian mau menggunakan produk baru tersebut. Sehingga diperlukan upaya mendidik dalam jangka waktu yang lama, dan biasanya akan diikuti oleh alasan “market belum siap” bila ternyata produk baru tersebut gagal di pasar. Semua adalah salah konsumen,
Padahal, konsumen tak pernah salah.
Apabila memang produk baru tersebut memiliki benefit yang mengatasi problem konsumen, atau memang memiliki keunggulan dibanding solusi yang tersedia di pasar, maka sudah sewajarnya bila konsumen tak perlu dididik lagi. Sehingga kita perlu mempelajari proses consumer adoption.
Pada kenyataannya, konsumen punya peluang untuk “melompat” ke produk baru tersebut. Yang perlu dipikirkan adalah memberikan benefit yang menjawab problem sehingga konsumen rela untuk “melompati” jarak yang ada, atau memberikan insentif untuk mendorong terciptanya moment of truth, pengalaman pertama menggunakan produk itu. Setelah itu, konsumen akan menimbang apakah benefit yang dia dapatkan layak dan sesuai dengan harga yang dibayarkan, dan memutuskan apahah mereka akan kembali dan menjadi konsumen tetap dari produk tersebut. Kesempatan itu juga digunakan oleh produsen untuk mengevaluasi apakah memang produknya benar-benar diterima konsumen. Dan sesegara mungkin melakukan scale-up dengan memperkuat posisi di pasar apabila memang konsumen bisa menerima.
Masih inget bagaimana Air Asia memulai di Indonesia hanya dengan menjual tiket secara online ? Mungkin sebelum Air Asia melakukannya, pemain lain berkata market belum siap atau perlu edukasi market untuk membeli tiket pesawat secara online. Tapi Air Asia berhasil dengan menawarkan benefit harga yang sangat kompetitif, sehingga konsumen rela “melompat” untuk membeli tiket Air Asia.
Atau pernahkah terbayang bagaimana ojek dan konsumennya melakukan transaksi dengan smartphone ? Pasti tahun lalu kita akan bilang bahwa market belum siap. Namun sekarang kita bisa melihat hal tersebut dilakukan oleh Gojek. Karena konsumen dan ojek memang mendapatkan benefit yang nyata, maka Gojek memberikan insentif agar moment of truth segera dirasakan oleh kedua belah pihak dengan memberikan berbagai program promo dan subsidi, dan segera melakukan scale-up.
Jadi, jangan pernah lagi menggunakan istilah “edukasi market” yang konotasinya lambat. Gunakan istilah lain.
Artikel ini ditulis oleh Andrias Ekoyuono
LinkedIn profile, @andrias98 on Twitter